MAKALAH
SUPPOSITORIA DAN OVULA
DISUSUN OLEH :
PUTRI RAHAYULIA
AKADEMI
FARMASI AL-FATAH
JL.
INDRAGIRI Gg. 3 SERANGKAI PADANG HARAPAN
BENGKULU
TA 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Seiring dengan semakin berkembangnya
sains dan tekhnologi, perkembangan di dunia farmasi pun tak ketinggalan.
Semakin hari semakin banyak jenis dan ragam penyakit yang muncul. Perkembangan
pengobatan pun terus di kembangkan. Berbagai macam bentuk sediaan obat, baik
itu liquid, solid dan semisolid telah dikembangkan oleh ahli farmasi dan
industri.
Ahli farmasi mengembangkan obat
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yang bertujuan untuk memberikan efek
terapi obat, dosis yang sesuai untuk di konsumsi oleh masyarakat. Selain itu,
sediaan semisolid digunakan untuk pemakaian luar seperti krim, salep, gel,
pasta dan suppositoria yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan
semisolid ini yaitu, mudah dibawa, mudah pada pengabsorbsiannya. Juga untuk
memberikan perlindungan pengobatan terhadap kulit tubuh.
Berbagai macam bentuk sediaan
semisolid memiliki kekurangan, salah satu diantaranya yaitu mudah di tumbuhi
mikroba. Untuk meminimalisir kekurangan tersebut, para ahli farmasis harus bisa
memformulasikan dan memproduksi sediaan secara tepat. Dengan demikian, farmasis
harus mengetahui langkah-langkah yang tepat untuk meminimalisir kejadian yang
tidak diinginkan. Dengan cara melakukan, menentukan formulasi dengan benar dan
memperhatikan konsentrasi serta karakteristik bahan yang digunakan dan
dikombinasikan dengan baik dan benar.
1.2 Tujuan
·
Mengetahui
langkah-langkah cara pembuatan sediaan suppositoria dan ovula yang baik dan
tepat.
1.3 Manfaat
·
Dapat memahami
langkah-langkah dalam pembuatan sediaan suppositoria dan sediaan ovula
·
Untuk dapat
mengaplikasikan di dunia kerja.
·
Untuk
menambah wawasan dan ketrampilan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat
yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau
meleleh pada suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot
dan bentuk, yang diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. (Farmakope
Indonesia Edisi IV)
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan
melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh
pada suhu tubuh. ( Farmakope Indonesia Edisi III)
Suppositoria adalah sediaan padat,
melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan
ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya
berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu
sediaan padat yang berbentuk torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan
dapat juga melalui lubang di area tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang
mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat.
Menurut FI
edisi III hal 32
Suppositoria
adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo,
dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh.
b.
Menurut FI
edisi IV hal 16
Suppositoria
adalah sediaan padat dalam berbagai bobot bentuk, yang diberikan melalui
rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu
tubuh.
c.
Menurut RPS
18 th hal 1609
Suppositoria
adalah bentuk sediaan padat yang memiliki berat dan bentuk yang bervariasi,
biasanya penggobatan dilakukan dengan dimasukan dalam rektum, vagina dan
uretra. Setelah pemasukan suppositoria akan menjadi lembut atau lunak, melebur
dalam cairan pencernaan.
d.
Menurut
Parrot hal 382
Suppositoria
adalah suatu bentuk unit sediaan yang dimaksudkan untuk dimasukan kedalam
rektum, vagina dan uretra. Suppositoria melebur, melunak, dan melarut dalam
suhu tubuh.
e.
Menurut
R.Voight hal 281
Suppositoria
adalah sediaan bentuk silindris atau kerucut berdosis dan berbentuk mantap yang
ditetapkan untuk dimasukan kedalam rektum, sediaan ini melebur pada suhu tubuh
atau larut dalam lingkungan berair.
f.
Menurut FN
hal 333
Suppositorium
adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh, digunakan
dengan cara menyisipkan kedalam rektum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaan, umumnya berbentuk terpedo.
g.
Menurut Ilmu
Meracik Obat hal 158
Suppositoria
adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur berbentuk terpedo, dapat
melunak, melarut, atau meleleh pada suhu tubuh.
h.
Menurut
Ansel hal 576
Suppositoria
adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaianya dengaan cara memasukkan
kedalam lubang atau celah dalam tubuh dimana ia akan melebur, melunak atau
larut dan memberikan efek lokal atau sistemik.
i.
Menurut
Lachman hal 1147
Suppositoria
adalah suatu bentuk sediaan padat yang umumnya dimaksudkan untuk dimasukan
kedalam rektum, vagina, dan jarang digunakan untuk uretra. Suppositoria rektal
dan urektal biasanya menggunakan pembawa yang meleleh, atau melunak pada
temperatur tubuh, sedangkan suppositoria vaginal kadang-kadang disebut
pessaries, juga dibuat dengan tablet kompressi yang hancur dalam cairan tubuh.
j.
Menurut Dom
Hoover hal 163
Suppositoria
adalah sediaan obat padat dengan berbagai ukuran dan bentuk yang penggunaanya
dengan diselipkan kedalam bagian tubuh biasanya melalui rektum, vagina atau
uretra.
k.
Menurut Dom
Marthin hal 834
Suppositoria
adalah sediaan padat yang diberikan melalui bagian tubuh yakni vagina, rektum,
atau uretra.
2.2 Macam-macam Suppositoria
a. Suppositoria untuk rectum
(rectal)
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan
dengan jari tangan. Biasanya suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5
inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria
rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung
kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP
sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola
lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila
basisnya oleum cacao.
c. Suppositoria untuk saluran urin
(uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya
rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau
wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila
basisnya dari oleum cacao beratnya ± 4 g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran
untuk pria, panjang ± 70 mm dan
beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
d. Suppositoia untuk hidung dan telinga
Suppositoia untuk hidung dan telinga yang disebut
juga kerucut telinga, keduanya berbentuk sama dengan suppositoria saluran urin
hanya ukuran panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. Suppositoria telinga
umumnya diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung gliserin. Seperti
dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat hidung dan telinga sekarang
jarang digunakan.
2.3 Tujuan Penggunaan Supositoria
1. Untuk tujuan lokal, seperti pada
pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga
dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa
dalam rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral tidak
memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang
lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal
dan langsung masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat
oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia
di dalam hati (Syamsuni, 2005).
2.4 Keuntungan dan Kerugian Supositoria
2.4.1
Keuntungan Supositoria:
a.
Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
b.
Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
c.
Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat berefek
lebih
cepat daripada penggunaan obat peroral.
d.
Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
2.4.2 Kerugian Supositoria:
a. Pemakaiannya tidak menyenangkan.
b. Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.
2.4.3
Persyaratan Supositoria
Sediaan supositoria memiliki
persyaratan sebagai berikut:
1.
Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau melarut
(persyaratan kerja obat).
2.
Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3.
Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
penegerasan, kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang
memadai
dari bahan obat).
4.
Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil.
2.5 Basis
supositoria
Sediaan supositoria ketika dimasukkan
dalam lubang tubuh akan melebur, melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis
supositoria memainkan peranan penting. Maka dari itu basis supositoria harus
memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan
akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat aktif
atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan didispersikan merata kemudian
menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik. Basis supositoria yang ideal
juga harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut:
1. Tidak beracun dan tidak
menimbulkan iritasi.
2. Dapat bercampur dengan
bermacam-macam obat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak
menunjukkan perubahan warna dan bau serta pemisahan obat.
4. Kadar air mencukupi.
5. Untuk basis lemak, maka bilangan
asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan harus diketahui jelas.
2.5.1 Persayaratan
Basis Suppositoria
1.
Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini dapat
disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik, terlalu keras, juga
oleh kasarnya bahan obat yang diracik).
2.
Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3.
Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4.
Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat
berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah pendinginan
mendaak dalam cetakan).
5.
Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini
dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya pada
suhu tinggi sehingga tetap stabil).
2.5.2 Macam-macam Basis Suppositoria
1. Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
2. Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak: campuran tween dengan gliserin laurat.
3. Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya:
gliserin-gelatin, PEG (polietien glikol).
2.5.3 Bahan Dasar Supositoria
1. Bahan dasar berlemak: oleum
cacao
Lemak coklat merupakan
trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki bau yang khas dan bersifat polimorf
(mempunyai banyak bentuk krital). Jika dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan
mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C
berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan
mencair sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal menstabil.
Ø Keuntungan oleum cacao:
a. Dapat melebur pada suhu tubuh.
b. Dapat memadat pada suhu kamar.
Ø Kerugian oleum cacao:
a. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan
pengeluaran).
b. Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang
turun apabila ditambahkan dengan bahan tertentu.
c. Meleleh pada udara yang panas.
2. PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara
300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000),
PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000 (carbowax 6000).
PEG di bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak
seperti malam. Formula PEG yang dipakai sebagai berikut:
1. Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG
1000 96% (75%).
2. Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan
aqua+obat 20%.
Titik lebur
PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut dalam cairan
sekresi
tubuh.
Ø Keuntungan
menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Tidak mengiritasi atau merangsang.
2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika
dibandingkan dengan oleum cacao.
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak
meleleh pada suhu tubuh.
Ø Kerugian
jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan,
sehingga timbul rasa yang
menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam
air
dahulu sebelum digunakan.
2. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat
pelepasan obat.
Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu
dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar
lemak
coklat.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Absobsi Obat per Rektal
Rektum
mengandung sedikit cairan dengan PH 7,2 dan kapasitas dapar rendah. Epitel
rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan permeabel terhadap obat
yang tidak terionisasi (obat yang mudah larut lemak).
2.7 Nilai Tukar
Nilai tukar adalah nilai yang
digunakan untuk mengurangi kadar zat aktif. Tujuan dari pengurangan zat aktif adalah
meminimalisir over dosis yang ditimbulkan. Karena zat aktif yang tertera pada
literature merupakan kadar zat aktif yang digunakan secara oral, maka pada
penggunaan untuk rectal kadar zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan
dengan proses farmakokinetik di dalam tubuh. Untuk obat-obat oral prosesnya
melalui ADME sedangkan untuk obat-obat lokal (suppo) prosesnya tidak melalui ADME melainkan
langsung diserap oleh permukaan mukosa rectal, kemudian masuk ke pembuluh darah selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu, jika zat aktif masih
menggunakan dosis oral, maka dikhawatirkan terjadi over dosis pada pasien.
Pada
pembuatan supositoria menggunakan cetakan, volume supositoria harus tetap. Tetapi, bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat
diabaikan, misalnya ekstrak belladonea dan garam alkaloid.
Nilai tukar dimaksudkan untuk
mengetahui bobot minyak cokelat yang mempunyai volume yang sama dengan 1g obat.
Berikut adalah tabel nilai tukar:
Nama Obat
|
Nilai tukar ol cacao per 1g
|
Acidum boricum
|
0.65
|
Garam alkaloid
|
0.7
|
Bismuth subgallas
|
0.37
|
Ichtammolum
|
0.72
|
Tanninum
|
0.68
|
Aethylis aminobenzoas
|
0.68
|
Aminoplhylinum
|
0.86
|
Bismuth subnitras
|
0.20
|
Sulfonamidum
|
0.60
|
Zinci oxydum
|
0.25
|
Dalam praktik, nilai tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk garam Bismuth
dan Zincy Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap satu. Bila supositoria
mengandung obat atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan berkurang
dan jika dipenuhi dengan campuran massa, akan diperoleh jumlah obat yang
melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk membuat supositoria yang sesuai dapat
dilakukan dengan cara menggunakan perhitungan nilai tukar.
2.8 Uji Bahan Aktif
1. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu di mana zat
yang kita uji pertama kali melebur atau meleleh seluruhnya yang ditunjukan pada
saat fase padat cepat hilang. Dalam analisa farmasi titik lebur untuk
menetapkan karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji
titik lebur di butuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point
Apparatus (MPA) alat ini digunakan untuk melihat atau mengukur besarnya titik
lebur suatu zat.
2. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan
bobot jenis udara pada suhu 25 terhadap bobot air dengan volume
dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan
membagi bobot jenis dengan bobot air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain
dalam monografi keduanya ditetapkan pada suhu 25. (FI IV hal 1302). Bobot jenis dapat
digunakan untuk:
§ Mengetahui
kepekaan suatu zat
§ Mengetahui
kemurniaan suatu zat
§ Mengetahui
jenis zat
Piknometer untuk menentukan bobot
jenis zat padat dan zat cair. Zat padat berbeda dengan zat cair, zat padat
memiliki pori dan rongga sehingga berat jenis tidak dapat terdefinisi dengan
jelas. Berat jenis sejati merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau
rongga ruang. Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung
sekaligus degan porinya sehingga nyata < sejati.
2.9 Metode Pembuatan
Pembuatan supositoria secara umum
yaitu bahan dasar supositoria yang digunakan dipilih agar meleleh pada suhu
tubuh atau dapat larut dalam bahan dasar, jika perlu dipanaskan. Jika obat
sukar larut dalam bahan dasar, harus dibuat serbuk halus. setelah campuran obat
dan bahan dasar meleleh atau mencair, tuangkan ke dalam cetakan supositoria
kemudian didinginkan. Tujuan dibuat serbuk halus untuk membantu homogenitas zat
aktif dengan bahan dasar.
Cetakan suppositoria terbuat dari
besi yang dilapisi nikel atau logam lainnya, namun ada juga yang terbuat dari
plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan
supositoria. Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan,
supositoria harus dibuat berlebih (±10%), dan sebelum digunakan cetakan harus
dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus
sapotanus (Soft Soap Liniment) agar sediaan tidak melekat pada cetakan.
Namun, spiritus sapotanus tidak boleh digunakan untuk supositoria yang
mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai
pengganti digunakan oleum recini dalam etanol. Khusus supositoria dengan bahan
dasar PEG dan Tween bahan pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan dasar
tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses
pendinginan.
Metode pembuatan supositoria dibagi
menjadi 3 yaitu:
a.
Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen
dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis
diiris, kemudian diaduk dengan bahan-bahan aktif dengan menggunakan mortir dan
stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian
massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang
yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang
silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan.
b.
Dengan mencetak kompresi
Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu bentuk
yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada massa
suppositoria yang diisikan dalam silinder, sehingga massa terdorong kedalam
cetakan.
c.
Dengan mencetak tuang
Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau
penangas uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan-bahan
aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam
cetakan logam yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau
nikel.
2.10 Pengemasan Supositoria
a. Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin
umumnya dikemas dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan
kelembapan dalam isi supositoria.
b. Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao
biasanya dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lain pada
celah-celah dalam kotak untuk mencegah perekatan.
c. Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih
pekat biasnya dibungkus satu per satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti
lembaran metal (alumunium foil).
2.11Evaluasi Sediaan
Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai
berikut:
1.
Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk
mengetahui apakah bahan aktif dapat tercampur rata dengan bahan dasar suppo
atau tidak, jika tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi
dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara
menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo
(atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian diletakkan pada
kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop, cara selanjutnya dengan menguji
kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
2.
Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu
diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti sediaan suppositoria pada
umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut
bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan
keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu,
suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3.
Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk
mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji
waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh
manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya ±15
menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi syarat diatas
maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh.
Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia
mengandung cairan.
4.
Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk
mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama atau belum, jika belum maka
perlu dicatat. Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap kemurnian suatu
sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan
ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat
rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam
masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-masing 10
suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Jika terdapat
sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak
memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan
untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria
tersebut sama dan dapat memberikan efek terapi yang sama pula.
5.
Uji titik lebur
Uji ini
dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan sediaan
supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan cara menyiapkan
air dengan suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati
waktu leburnya. Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3
menit, sedangkan untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
6.
Kerapuhan
Supositoria
sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang menjadikannya sukar
meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Supositoria
dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian
yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar,
kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan
jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
7.
Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd)
merupakan parameter untuk untuk menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh
dengan kadar plasma atau serum. Volume distribusi ini hanyalah perhitungan
volume sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
Tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen
yang terduru dari plasma atau serum, dan Vd adalah jumlah obat dalam tubuh
dibagi dengan kadarnya dalam plasma atau serum.
Keterangan :
X = jumlah obat dalam
tubuh
C = kadar obat dalam plasma atau serum
DIV = dosis obat dalam
pemberian
IV Doral
= dosis obat dalam pemberian oral
F = fraksi dosis oral yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk
aktif.
= bioavailabilitas absolute obat oral
Co= kadar
plasma atau serum pada waktu T = 0 (ekstrapolasi garis eliminasi ke t = 0 )
Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan
komposisi tubuh, kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen tubuh,
dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan.
Obat yang tertimbun dalam jaringan mempunyai kadar dalam plasma yang
rendah sekali sedangkan Vd nya besar (misalnya, digoksin). Untuk
obat yang terikat dengan kuat pada protein plasma mempunyai kadar plasma yang
cukup tinggi dan mempunyai Vd yang kecil (misalnya, warfarin,
tolbutamid dan salisilat).
2.12Monografi
Monografi bahan dalam pembuatan
sediaan supositorian adalah sebagai berikut:
1. Aminophyllinum, Teofilin Etilendiamin (FI IV hal
90)
Pemerian: butir atau
serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia lemah, rasa pahit. Jika dibiarkan
di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan etilenadiamina dan menyerap karbon
dioksida dengan melepaskan teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas
lakmus.
Kelarutan: tidak
larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan 1 g dalam 25 air menghasilkan
larutan jernih, larutan 1 g dalam 5 ml air menghablur jika didiamkan dan larut
kembali jika ditambah sedikit etilenadiamina.
Khasiat: obat asma.
2 Bisakodil, Bisacodylum (FI IV hal
144)
Pemerian: serbuk
hablur, putih sampai hampir putih, terutama terdiri dari partikel dengan
diameter terpanjang lebih kecil dari 50 µm.
Kelarutan: praktis
tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, dan dalam benzene, agak sukar
larut dalam etanol dan dalam methanol, sukar larut dalam eter.
Khasiat: obat
laksativum atau memperlancar BAB.
3.
Oleum Cacao (FI-III hal 453)
Lemak coklat adalahcoklat padat yang diperoleh dengan
pemerasan panas biji Theo Broma Cacao L. yang telah dikupas/ dipanggang.
Pemerian: lemak
padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa khas lemak agak rapuh.
Kelarutan: sukar
larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P dan
dalam eter minyak tanah P.
Suhu lebur: 310
– 340 C.
Khasiat: zat
tambahan.
2.13 Alasan Pemilihan Bahan
a. Amynophyllinum
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati
asma, zat aktif ini dibuat dalam bentuk suppositoria karena untuk asma
membutuhkan penanganan yang cepat. Efek terapi yang diberikan jika sediaan
dalam bentuk suppositoria lebih cepat daripada dalam bentuk oral. Sediaan dalam
bentuk oral, kerja obatnya harus melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan
sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan
akan lebih cepat.
b. Oleum Cacao
Oleum Cacao berdaya guna dalam melepaskan zat aktif
daripada yang lain, karena mempunyai titik lebur pada suhu 31°-34°.
Dibuat dalam bentuk suppositoria ditujukan untuk melebur pada suhu tubuh,
karena oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar suppo yang ketambahan zat
aktif, jadi titik leburnya akan menjadi 35°-37°. Obat yang larut dalam air yang
dicampur dengan oleum cacao, pada umumnya memberi hasil pelepasan yang baik.
(Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi: 581). Pada bahan tambahan oleum cacao ini dilebihkan 10% pada basisnya, sebab
basis saat dileburkan selain melebur juga menguap, sehingga berkurang. Selain
itu saat di dinginkan basis akan menyusut dan berkurang oleh karena itu harus
dilebihkan 10% pada basisnya.
c. Bisakodil
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk
menghilangkan rasa nyeri pada buang air besar. Dibuat dalam bentuk suppositoria
karena bentuk sediaan ini akan membantu memberikan efek terapi yang lebih cepat
dari pada dalam bentuk oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja obat harus
melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui
absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.
2.14 Cara pemberian
Pemberian obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui
anus atau rektum dalam bentuk suppositoria
Petunjuk pemakaian: cuci tangan
sampai bersih, buka pembungkus suppositoria, kemudian tidur dengan posisi
miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung supositoria
didorong dengan ujung jari, kira-kira ½-1 inci pada bayi dan 1 inci pada
dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan.
Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan setiap 4–6 jam jika
diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan
pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria.
Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika
sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan
atau terjadi over dosis segera hubungi dokter
Ovulae / Ovula
Ovula adalah sediaan padat , umumnya berbentuk telur mudah
melemah (melembek) dan meleleh pada suhu tubuh, dapat melarut dan
digunakan sebagai obat luar khusus untuk vagina. Sebagai bahan dasar ovula
harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh.
Sebagai bahan dasar dapat digunakan lemak coklat atau campuran PEG dalam
berbagai perbandingan. Bobot ovula adalah 3 - 6 gram, umumnya 5 gram.
Ovula disimpan dalam wadah tertutup baik dan ditempat yang sejuk.
Menurut
FI IV, supositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau dapat
bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g.
Supositoria dengan bahan dasar gelatin
tergliserinasi ( 70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin dan 10 bagian air) harus
disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu di bawah 35°C.
BAB III
METODOLOGI KERJA
3.1
Formulasi Resep
Ø Resep 1 (FORNAS,
21) à Obat Asma
R/ Aminophylinum 250 mg
Ol.
Cacao
qs
m.f supp dtd No.
II
S 2
dd 1 supp
Ø Resep 2 (FORNAS, 51) à Obat untuk Sembelit
R/ Bisacodil
5 mg
Oleum Cacao qs
m.f supp dtd No. II
S 1 dd 1 supp
(malam hari sebelum tidur, (ISO; 484-DULCOLAX))
3.2 Perhitungan
Bahan
a.
Aminophyllinum
Nilai tukar
: 0,86
Amino yang
diperlukan
= 2 x 0,25 g = 0,5 g
Berat
suppo
= 2 x 2 g = 4 g
Nilai tukar
= 0,5 g x 0,86 = 0,43 g
lemak yg dibutuhkan (ol. Cacao)
= 4 g – 0,43g = 3.57 g
Tambahan lemak (ol.cacao)10%
= 10/100 x 3.57 g = 0.357 g
Jadi, tambahan lemak
(ol.cacao) = 3.57 g + 0.357 g =
3.927 g
b.
Bisacodil
= 10 mg x 2 = 20 mg = 0,02 g
Nilai
tukar
= 0,7 x 0,02 g = 0,014 g
Bisacodil yg
diperlukan
= 0,014 g = 14 mg
· Pengenceran
bisacodil
Missal penambahan 300 mg SL = 84 mg
Bisacodil = 50 mg
SL = 250 mg
Jadi sisa pengenceran = 300 mg – 84 mg = 216 mg
· Karena bisacodil yg diperlukan 14 mg,
Maka 84 mg – 14 mg = 70 mg
· Berat suppo = 2 g x 2 = 4 g
· Lemak yg dibutuhkan = 4 g – 0,014 g = 3,986 g
· Tambahan lemak (10%) = x
3,986 g = 0,3986 g
· Jadi tambahan lemak menjadi = 3,986 + 0,3986 = 4,3846 g
3.3 Alat & Bahan
Alat:
1.
Timbangan, anak timbangan, penara
2.
Perkamen
3.
Cawan porselen
4.
Sendok tanduk
5.
Sudip
6.
Batang pengaduk
7.
Mortir
8.
Stamper
9.
Serbet
10.
Pencetak supositoria
Bahan:
1.
Aminofillin
2.
Oleum cacao
3.
Bisakodil
4.
Alumunium foil
5.
Saccharum Lactis
3.4 Prosedur Kerja
Resep 1.
a.
Disiapkan alat dan bahan.
b.
Disetarakan timbangan.
c.
Ditimbang aminofillin 430 mg.
d.
Ditimbang ol cacao 3.927g.
e.
Dioleskan paraffin dalam cetakan supositoria.
f.
Dilebur oleum cacao hingga berbentuk seperti massa krim, diangkat.
g.
Dimasukkan aminofillin ke dalam hasil leburan, diaduk ad homogen.
h.
Dituang ke dalam cetakan supositoria.
i.
Dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kulkas agar memadat (membeku).
j.
Disiapkan alumunium foil sebagai kemasan.
k.
Dilepas supositoria dari cetakan, dibungkus dengan alumunium foil.
l.
Dimasukkan plastik dan diberi etiket biru.
Resep 2 (Bisakodil)
1.
Disiapkan alat dan bahan.
2.
Dibersihkan alat.
3.
Disetarakan timbangan.
4.
Ditimbang Bisakodil dengan pengenceran 50 mg di timbangan halus, ditimbang SL 250 mg. Lalu dimasukkan kedalam
mortir, digerus sampai halus lalu disisihkan.
5.
Ditimbang ol.cacao 4,3846 g dengan cawan porselen di timbangan kasar, lalu dileburkan diatas
penangas. Setelah melebur, diangkat.
6.
Dimasukkan bisakodil kedalam cawan porselen yang berisi leburan ol.cacao,
diaduk rata.
7.
Disiapkan cetakan suppo lalu diolesi paraffin dengan kuas.
8.
Dituang sediaan dalam cetakan yang sudah siap.
9.
Ditunggu sampai sedikit dingin kemudian dimasukkan kedalam kulkas.
10.
Disiapkan alumunium foil sebagai pembungkus supositoria, setelah mengeras
dikeluakan supositoria dari cetakan lalu dibungkus dengan alumunium foil.
11.
Dimasukkan kedalam plastic klip kedan beri etiket biru.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Uji Homogenitas
1.
Diambil tiga 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri).
2.
Masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah
mikroskop.
3.
Cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
Uji Keseragaman Bentuk dan Ukuran
1.
Diambil suppositoria yang sudah di buat.
2.
Diamati satu dengan yang lainnya bentuk dan ukurannya sesuai standar supo
(berbentuk torpedo).
Uji Waktu Hancur
1.
Supo dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia, selama 3
menit.
Uji Keseragaman Bobot
1.
Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya.
2.
Hitung persen kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot rata-ratanya.
Keseragaman/ variasi bobot yang didapat tidak boleh lebih dari ± 5%
(Anonim b, 1995).
Uji Kerapuhan
1.
Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran
melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar
bahan yang datar.
2.
Kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan
jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
4.2
Pembahasan
Dalam praktikum ini, dibuat sediaan suppositoria.
Dimana pada pembuatan ini, ada dua resep yang dibuat. Pembuatan resep pertama,
yang dilakukan adalah menimbang bahan. Setelah itu dioleskan paraffin dalam
cetakan suppo, dilebur oleum cacao hingga berbentuk seperti massa krim.
Masukkan aminophyllin kedalam hasil leburan, aduk ad homogen. Dituang dalam
cetakan suppo, dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kedalam kulkas agar
memadat. Dilepaskan suppo dalam cetakan, bungkus dengan alumunium foil yang
sudah disiapkan, masukkan kedalam plastik dan diberi etiket.
Pembuatan resep kedua, yang pertama dilakukan menimbang semua bahan. Oleum
cacao dileburkan diatas penangas, diangkat. Kemudian bisakodil dimasukkan ke
dalam cawan porselen yang berisi oleum cacao, diaduk merata. Dituang sediaan
kedalam cetakan suppo yang sudah diolesi dengan paraffin. Dimasukkan kedalam
kulkas agar memadat, kemudian tunggu beberapa saat. Keluarkan suppo dari
cetakan, kemudian bungkus dengan alumunium foil, masukkan kedalam plastik,
diberi etiket. Kedua sediaan suppo yang dibuat memenuhi syarat, karena pada
cara pembuatan sudah benar dan tepat sehingga sediaan menjadi bagus dan tidak
rusak.
Ovula adalah sediaan padat , umumnya
berbentuk telur mudah melemah (melembek) dan meleleh pada suhu tubuh,
dapat melarut dan digunakan sebagai obat luar khusus untuk vagina. Sebagai
bahan dasar ovula harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel,
Howard C.2005. Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi edisi keempat. Jakarta : Universitas Indonesia
Moh. Anief.
2007. FARMASETIKA.Yogyakarta :
GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
Departemen
Kesehatan RI. 1979. Farmakope
Indonesia edisi III. Jakarta
Syamsuni.
2007. Ilmu Resep. Jakarta :
PENERBIT BUKU KEDOKTERAN
Ansel, Howard C 1989. Terjemahan
Buku Teknologi Farmasi Edisi IV, Jakarta :UI Press, Hal 592.
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik
Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, Hal 158.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi III Jakarta : Dirjen POM,
Hal 1032.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
http://selfiamona.blogspot.com/2013/10/formulasi-dan-teknologi-sediaan-semi_9878.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar