LAPORAN
PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI II
AKTIVITAS ANTELMINTIK
Putri
Rahayulia (1360098)
KELOMPOK II
KELAS : B2
KELOMPOK MEJA 1
HARI/TANGGAL PRAKTIKUM : Selasa,
17 Maret 2015
HARI/TANGGAL LAPORAN : Senin,
23 Maret 2015
AKADEMI FARMASI AL-FATAH
BENGKULU
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan.
Dalam penulisan
laporan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, dalam rangka
penyelesaian makalah yang berjudul Aktivitas
Antelmintik.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih
banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena
itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Bengkulu, Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB
I
PENDAHULUAN
A. TUJUAN........................................................................................... 1
B.
LATAR BELAKANG...................................................................... 1
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN................................................................................. 2
B.
OBAT ANTELMINTIK YG DIGUNAKAN.................................. 2
C. MACAM =
MACAM CACING ..................................................... 5
BAB
III
METODE PELAKSANAAN
ALAT DAN BAHAN..............................................................................
9
PROSEDURE KERJA................................................................................. 9
BAB IV
HASIL
TABEL HASIL PENGAMATAN...........................................................
10
BAB V
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN........................................................................................... 11
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN............................................................................................. 14
SARAN.....................................................................................................
14
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................. 15
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Tujuan
1. Dapat
merancang dan melakukan eksperimen sederhana untuk menguji aktivitas
antelmintik (anti cacing) suatu bahan uji secara in vitro.
2. Dapat
menjelaskan perbedaan paralisis spastic dan flasid yang terjadi pada cacing
setelah kontak dengan antelmintik (anti cacing)
B.
Latar Belakang
Antelmintik
atau obat cacing adalah obat-obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh
manusia dan hewan. Yang tercakup dalam istilah ini adalah semua zat yang
bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemis
yang membasmi cacing maupun larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan
tubuh.
Banyak
antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak
mematikannya. Guna mencegah jangan sampai parasit menjadi aktif lagi atau sisa–sisa
cacing mati dapat menimbulkan reaksi alergi, maka harus dikeluarkan secepat
mungkin (Tjay dan Rahardja, 2002:185)
Maka dari itu, kami melakukan
eksperimen sederhana untuk menguji aktivitas antelmintik.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
- Pengertian
Antelmintika atau obat cacing (Yunani anti = lawan, helmintes = cacing) adalah
obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah
ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna
maupun obat-obat sistemik yang membasmi cacing serta larvanya, yang
menghinggapi organ dan jaringan tubuh (Tjay, 2007)
Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam
cacing, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu.
Kebanyakan antelmintik diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah
makan. Beberapa senyawa antelmintik yang lama, sudah tergeser oleh obat
baru seperti Mebendazole, Piperazin, Levamisol, Albendazole, Tiabendazole, dan
sebagainya. Karena obat tersebut kurang dimanfaatkan. (Gunawan, 2009)
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang
paling umum tersebar dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia diseluruh
dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih spesifik dangan kerja lebih
efektif, pembasmian penyakit ini masih tetap merupakan salah satu masalah
antara lain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi di beberapa bagian dunia.
Jumlah manusia yang dihinggapinya juga semakin bertambah akibat migrasi,
lalu-lintas dan kepariwisataan udara dapat menyebabkan perluasan kemungkinan
infeksi. (Tjay, 2007)
Terdapat tiga golongan cacing yang menyerang manusia
yaitu matoda, trematoda, dan cestoda. Sebagaimana penggunaan antibiotika,
antelmintik ditujukan pada target metabolic yang terdapat dalam parasite tetapi
tidak mempengaruhi atau berfungsi lain untuk pejamu. (Mycek,2001)
- Obat Antelmintik yang Lazim Digunakan
1.
Piperazin
Efektif
terhadap A.lumbricoides dan E.vermicularis. Mekanisme kerjanya
menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin _ paralisis dan
cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Absorpsi melalui saluran cerna,
ekskresi melalui urine. (Anonim.2010)
Piperazin
pertama kali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard (1949). Pengalaman
klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A. lumbricoides
dan E. vermicularis sebelumnya pernah dipakai untuk penyakit pirai.
Piperazin juga terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga
didapat sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan tartrat. Garam-garam ini
bersifat stabil non higroskopis, berupa kristal putih yang sangat larut dalam
air, larutannnya bersifat sedikit asam. (Anonim.A)
a.
Efek antelmintik
Piperazin menyebabkan blokade respon
otot cacing terhadap asetilkolin sehinggga terjadi paralisis dan cacing mudah
dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah
pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Cacing
yang telah terkena obat dapat menjadi normal kembali bila ditaruh dalam larutan
garam faal pada suhu 37°C.
(Anonim.A)
Diduga cara kerja piperazin pada otot
cacing dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang
berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan
hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis. (Anonim.A)
Pada suatu studi yang dilakukan
terhadap sukarelawan yang diberi piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya
ditemukan suatu derivat nitrosamine yakni N-monistrosopiperazine dan arti
klinis dari penemuan ini belum diketahui. (Anonim.A)
b.
Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran
cerna, baik. Sebagian obat yang diserap mengalami metabolisme, sisanya
diekskresi melalui urin. Menurut, Rogers (1958) tidak ada perbedaan yang
berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat dalam kecepatan ekskresinya
melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antar
individu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan dalam bentuk utuh. Obat
yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama 24 jam. (Anonim.A)
c.
Efek nonterapi dan kontraindikasi
Piperazin memiliki batas keamanan yang
lebar. Pada dosis terapi umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali
kadang-kadang nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian i.v menyebabkan penurunan tekanan darah
selintas. Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar
lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi
inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang
akan hilang setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek
kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada
penderita epilepsi dan gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada
penderita malnutrisi dan anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra.
Karena piperazin menghasilkan nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil
hanya kalau benar-benar perlu atau kalau tak tersedia obat alternatif. (Anonim.A)
d.
Sediaan dan posologi
Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250
mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis
pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari
berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah
65 mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya
diulangi sesudah 1-2 minggu.
(Anonim.A)
2.
Pirantel Pamoat
Untuk
cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya menimbulkan
depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat
enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar
bersama tinja, <15% lewat urine. (Anonim.2010)
Pirantel
pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak
efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan
penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian
dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan
mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan
segera mati. Di samping itu pirantel pamoat juga berkhasiat laksans lemah. .
(Tjay dan Rhardja, 2002:193)
Resorpsinya
dari usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan
dengan tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya
cukup ringan yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit
kepala. (Tjay dan Rhardja, 2002:193). Dosis terhadap cacing kremi dan cacing
gelang sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia
(10mg/kg). (Tjay dan Rhardja, 2002:193). Dosis tunggal pirantel pamoat 10mg/kg
Bb (ISO, 2009 : 81).
C. Macam-Macam
Cacing
·
CACING TAMBANG
Adalah
cacing parasit (nematoda) yang hidup
pada usus kecil inang(korban sebagai tempat makan)nya, dalam hal ini adalah
manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Tambang didefinisikan
sebagai cacing parasit pengisap darah yang mempunyai pengait yang kuat pada
rongga mulut atau pipi untuk menyerang usus.
·
CACING GELANG/ ASCARIS (CACING PERUT)
Cacing ini termasuk dalam kelas dari anggota hewan tak
bertulang belakang(invertebrata) yang termasuk dalam filum Nemathelminthes Ascaris lumbricoides.Untuk
definisi lengkap dari cacing gelang ini, saya belum menemukannya. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia(KBBI)pun Cacing Gelang berada dalam sub pengertian
cacing sebagai cacing yang hidup dalam usus halus manusia. Hanya itu saja yang
saya temukan, sayang sekali.
·
CACING CAMBUK
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Cambuk tidak terdapat definisinya.
Namun dari berbagai sumber yang ada Trichuris
trichiura ini disebut cambuk adalah karena pada bagian anteriornya
berbebtuk langsing memanjang seperti cambuk, yang panjangnya kira-kira mencapai
3/5 dari panjang seluruh tubuhnya.
·
CACING JANTUNG
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Jantung atau Dirofilaria immitis didefinisikan
sebagai cacing nematoda yang terdapat dalam jantung karnivora, betinanya dapat
mencapai panjang 30 cm. Cacing ini kebanyakan menyerang pada hewan, seperti anjing
dan kucing. Dapat menyebabkan kematian pada hewan inangnya apabila tidak
dirawat.
·
CACING PITA
Termasuk dalam Kerajaan Animalia, Filum
Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa Cyclophyllidea, Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Pita didefinisikan sebagai cacing berkepala,
beruas-ruas, panjang dan pipih seperti pita, hidup di dalam perut, biasanya
dianggap sebagai sumber penyakit. Anggota-anggotanya dikenal sebagai
parasit vertebrata dan yang paling penting cacing ini dapat menginfeksi manusia,
babi, sapi, dan kerbau.
· CACING PIPIH
Tubuhnya
memipih dan badan berbentuk pita adalah Filum Platyhelminthes yang
terdapat 4 kelas didalamnya yaitu Turbellaria, Trematoda, Cestoda dan
monogenea (cacing pita merupakan bagian dari cestoda). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Pipih didefinisikan sebagai cacing berbadan
pipih, yang mempunyai rongga tubuh.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Kremi definisinya adalah cacing kecil yang hidup sebaga parasit
dalam perut, terutama pada anak-anak.Penyakit ini sering disebut kremien di kalangan orang jawa. Cacing ini
tumbuh dan berkembangbiak di dalam usus manusia dan aktif pada malam
hari(bergerak ke anus untuk bertelur).
·
CACING BENANG ATAU FILARIA(Wuchereria
bancrofti)
Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka disebut cacing benang atau filaria. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Benang definisinya adalah cacing yang menyebabkan penyakit filariaris yang menyebabkan pembengkakan pada kaki.
Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka disebut cacing benang atau filaria. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing Benang definisinya adalah cacing yang menyebabkan penyakit filariaris yang menyebabkan pembengkakan pada kaki.
·
CACING TANAH
Cacing Tanah adalah
nama yang
paling umum digunakan untuk hewan dalam kelompok Oligochaeta, yang nama kelas dan subkelasnya tergantung dari
penemunya. Cacing ini tergolong dalam filum Annelida.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) Cacing
Tanah didefinisikan sebagai cacing yang hidup di dalam tanah yang
lembap.
Annelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m.Contoh
annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia. Bentuk tubuhnya
simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin. (Anonim.B)
Annelida memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara
satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh
darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen
lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh Annelida berisi cairan
yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi
otot. (Anonim.B)
Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang
(longitudinal). Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari mulut,
faring, esofagus (kerongkongan), usus, dan anus. Cacing ini sudah memiliki
pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran darah tertutup. Darahnya
mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah. Pembuluh darah yang melingkari
esofagus berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. (Anonim.B)
Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak
terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi
yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor. Nefridia
(tunggal–nefridium) merupakan organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Nefrostom
merupakan corong bersilia dalam tubuh. Nefrotor merupaka npori permukaan tubuh
tempat kotoran keluar. Terdapat sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya. (Anonim.B)
Sebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian yang
parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia. Habitat annelida
umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan juga ada yang segaian
hidup di tanah atau tempat-tempat lembap. Annelida hidup di berbagai tempat
dengan membuat liang sendiri. (Anonim.B)
Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembantukan
gamet. Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang kemudian
beregenerasi. Organ seksual annelida ada yang menjadi satu dengan individu
(hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu lain (gonokoris). (Anonim.B)
Annelida dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Polychaeta (cacing
berambut banyak), Oligochaeta (cacing berambut sedikit), dan Hirudinea.
(Anonim.B)
BAB III
METODE PELAKSANAAN
I.
Alat
dan bahan
Alat
|
Bahan
|
·
Cawan petri
·
Beaker glass
·
Sarung tangan
·
Serbet
·
Tabung
Reaksi
·
Stopwatch
|
·
Cacing tanah
·
Combactrin
tab
·
Combactrin
syr
·
Upixon syr
·
NaCl 0.9% b/v
|
II.
Prosedur
- Siap kan cacing tanah, masing – masing cawan berisi 2 ekor cacing.
2. Di
siapkan larutan uji Combactrin tab
,Combactrin syr, Upixon syr, dan NaCl 0.9% b/v. Masing – masing larutan di tambah kan Nacl 5ml
- Di tuangkan larutan uji masing-masing ke dalam tiap cawan petri dengan pola sebagai berikut:
-
Cawan petri I : Combactrin tab ctrl1(+)
-
Cawan petri II : Combactrin syr ctrl2(+)
-
Cawan petri III : Upixon syr ctrl3(+)
-
Cawan petri IV : NaCl fisiologis ctrl1(-)
- Kemudian amati selama 1 jam, lalu di catat waktunya
BAB IV
HASIL
Tabel Hasil Pengamatan
Nama Sediaan Uji
|
Cacing Flasid (F)
|
Cacing Mati (M)
|
1 jam pengamatan
|
NaCl
fisiologis ctrl1(-)
|
N
|
N
|
N
|
Combactrin tab ctrl1(+)
|
3 menit 43 detik
|
6 menit 35 detik
|
M
|
Combactrin syr ctrl2(+)
|
3 menit 25 detik
|
7 menit 44 detik
|
M
|
Upixon syr ctrl3(+)
|
2 menit 27 detik
|
7 menit 26 detik
|
M
|
Keterangan :
N = Normal/Tetap hidup
F=
Diam/Pingsan
M= Mati
BAB V
PEMBAHASAN
Antelmintik atau obat
cacing adalah obat-obat yang dapat memusnahkan
cacing dalam tubuh manusia dan hewan.
Banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat
melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya. Guna mencegah jangan sampai parasit
menjadi aktif lagi atau sisa–sisa cacing mati dapat menimbulkan reaksi alergi,
maka harus dikeluarkan secepat mungkin
Cacingan merupakan salah satu penyakit yang banyak
dijumpai di masyarakat dan saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting. Cacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara
ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat
dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya
manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi,
terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu, mempunyai risiko tinggi
terjangkit penyakit ini.
Pada praktikum kali ini, yang menjadi
bahan amatan pengamat adalah aktivitas pirantel pamoat juga sebagai obat
antelmintik yang bekerja dalam mempengaruhi sistem saraf dari cacing yang akan
diamati efeknya.
Pada
prosedur awal, cacing yang digunakan
adalah cacing tanah , hal ini dapat dilakukan
karena yang akan diamati oleh pengamat adalah aktivitas pirantel pamoat
terhadap aktivitas sistem saraf pusat, dan yang lebih memudahkannya adalah bila
menggunakan cacing tanah tidak diperlukan dua jenis cacing dari jenis kelamin
yang berbeda, karena cacing tanah merupakan cacing berkelamin ganda
(hemaprodit).
Pada pratikum kali ini, sediaan uji yang
digunakan adalah combactrin tablet ctrl 1(+); combactrin sirup ctrl 2(+); upixon sirup ctrl 3(+) dan
Nacl fisiologis 0,9% ctrl 1(-). Masing – masing sediaan uji diambil 5ml, lalu
ditambahkan 5ml Nacl untuk menambah volume sediaan dan kemudian dimasukkan
kedalam tabung reaksi.
Setiap cawan petri masing – masing berisikan cacing tanah 2 ekor yang masih
hidup. Kemudian langkah selanjutnya adalah memasukkan masing – masing sediaan
uji secara bersamaan kedalam cawan petri yang berisi cacing tanah. Cacing
diamati dengan waktu maksimal 1 jam.
Cacing pingsan pada upixon sirup ctrl 3(+) saat 2 menit 27 detik , pada combactrin
sirup ctrl 1(+) cacing pingsan saat 3 menit 25 detik , lalu pada combactrin
tablet
ctrl 2(+) saat 3 menit 43 detik dan sedangkan Nacl fisiologis 0,9% ctrl 1(-)
cacing tidak pingsat bahkan tetap hidup normal.
Pengamatan selanjutnya cacing mengalami
kematian pada menit ke 6 ini, karena tidak memberikan aktivitas
apapun, terlebih dahulu pada combactrin
tablet ctrl 1(+) saat 6 menit 35 detik, lalu upixon sirup ctrl 3(+) saat
7 menit 26 detik, combactrin sirup ctrl 2(+) saat 7 menit 35 detik dan Nacl
fisiologis 0,9% ctrl 1(-) cacing tetap hidup. Larutan ini dipakai sebagai
medium karena larutan NaCl 0,9% merupakan larutan yang isotonis dan tidak
merusak membran sel tubuh cacing, oleh sebab itu standar batas kematian cacing
sebagai kontrol negatif digunakan larutan NaCl 0,9%.
Penggunaan
sediaan uji pyrantel pamoat, Pyrantel pamoat adalah
suatu obat cacing yang penggunaannya sangat praktis (dosis tunggal) dan efektif
untuk mengobati penyakit cacingan. Mekanisme kerja dari pyrantel pamoat
yaitu dengan mengganggu hubungan neuromuskuler. Hal ini akan
menyebabkan spasmus dan pengerutan otot cacing, sehingga cacing mudah
dikeluarkan oleh gerakan usus. Pyrantel sangat sedikit diserap usus sehingga
tidak menimbulkan bahaya keracunan. Mekanisme
lainnya dengan menghambat masuknya glukosa dan mempercepat penggunaan
(glikogen) pada cacing.
Hewan uji yang digunakan adalah
cacing tanah, selain itu cacing tanah memiliki banyak manfaat di dunia
kesehatan, Daging cacing tanah
merupakan salah satu sebagai alternative
pengobatan bagi kehidupan manusia. Banyak khasiat
daging cacing tanah bagi kesehatan manusia.
Lumbricus Rubellus dapat menjadi obat yang
manjur untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Diantaranya ialah penyakit tekanan darah rendah dan tekanan
darah tinggi, kencing manis, tipus, rematik, disentri, maag, muntaber,
asma dan penyakit kronis lainnya.
Hasil – hasil penelitian pun telah menguak multi manfaat cacing tanah. Hewan ini mengandung berbagai enzim penghasil antibiotic dan asam arhidonat yang berkhasiat menurunkan demam. Sejak tahun 1990 di Amerika Serikat cacing ini dimanfaatkan sebagai penghambat pertumbuhdan kanker. Di Jepang dan Australia, cacing tanah dijadikan sebagai bahan baku kosmetika. Penelitian laboratorium mikrobiologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Unpad Bandung tahun 1996 menunjukkan bahwa ekstra cacing rubellus mampu menghambat pertumbuhan bakteri pathogen penyakit tipus dan diare. Memang tak ada informasi yang jelas, kapan cacing dianggap berkhasiat. Tapi, Lumbricus rubellus punya manfaat medis. Sudah diteliti para ilmuwan Amerika. Dari sana lah ditemukan bahwa lumbricus punya kemampuan mengubah Omega – 6 menjadi Omega – 3. Omega 3 ini dapat mencegah terjadinya pengerasan pembuluh darah yang diakibatkan oleh lemak. Dalam penelitian itu juga dilakukan percobaan dengan mengisolasi bahan kimia yang ada pada tubuh lumbricus rubellus. Kemudian menumbuhkannya ke sel tubuh manusia. Ternyata bahan kimia itu dapat mengurangi gangguan di pembuluh arteri yang dapat mengakibatkan serangan jantung
Hasil – hasil penelitian pun telah menguak multi manfaat cacing tanah. Hewan ini mengandung berbagai enzim penghasil antibiotic dan asam arhidonat yang berkhasiat menurunkan demam. Sejak tahun 1990 di Amerika Serikat cacing ini dimanfaatkan sebagai penghambat pertumbuhdan kanker. Di Jepang dan Australia, cacing tanah dijadikan sebagai bahan baku kosmetika. Penelitian laboratorium mikrobiologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Unpad Bandung tahun 1996 menunjukkan bahwa ekstra cacing rubellus mampu menghambat pertumbuhan bakteri pathogen penyakit tipus dan diare. Memang tak ada informasi yang jelas, kapan cacing dianggap berkhasiat. Tapi, Lumbricus rubellus punya manfaat medis. Sudah diteliti para ilmuwan Amerika. Dari sana lah ditemukan bahwa lumbricus punya kemampuan mengubah Omega – 6 menjadi Omega – 3. Omega 3 ini dapat mencegah terjadinya pengerasan pembuluh darah yang diakibatkan oleh lemak. Dalam penelitian itu juga dilakukan percobaan dengan mengisolasi bahan kimia yang ada pada tubuh lumbricus rubellus. Kemudian menumbuhkannya ke sel tubuh manusia. Ternyata bahan kimia itu dapat mengurangi gangguan di pembuluh arteri yang dapat mengakibatkan serangan jantung
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pirantel pamoat memberikan efek
paralisis flasid karena mempunyai mekanisme kerja berdasarkan perintangan
penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pratikum kali ini dapat disimpulkan bahwa pirantel pamoat memberikan efek
paralisis flasid karena mempunyai mekanisme kerja berdasarkan perintangan
penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan.
B.
SARAN
Sebaiknya kita
selalu menjaga kebersihan makanan dan selalu mencuci tangan agar terhindar dari
cacingan.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung.1989.Farmakologi
Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
Mycek.2001.Farmakologi
Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta
Tjay,
Tan Hoan, Rahardja, Kirana, 2002, Obat –
Obat Penting, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Kasim,
Fauzi, dkk.,2009, ISO Indonesia, volume
44, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta
Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Buku 3.
Edisi VIII. Jakarta: Salemba Medika; 2002; 280-81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar